Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) pada 19 April 2010 genap berusia 80 tahun. Meski sudah berumur panjang, PSSI dan sepak bola Indonesia ternyata belum menemukan keindahannya. Catatan hidup PSSI diwarnai kerusuhan, perkelahian pemain, dan hancurnya performa tim nasional. Sepak bola yang diharapkan sebagai salah satu cabang olahraga yang bisa mengangkat prestasi dan memberikan kebanggaan sekarang dalam kondisi yang memprihatinkan. Indonesia pernah punya kebanggaan di tingkat dunia ketika menahan Uni Soviet di Olimpiade. Indonesia pernah jadi "Macan Asia" , Indonesia masih "Macan Asia", meski mulai menurun. Tapi belakangan ini justru makin menurun. Memang Indonesia masih cukup disegani, tapi kita bukan lagi "macan" bahkan hanya untuk ASEAN.
PSSI seharusnya kembali mengumandangkan tiga tabu seperti dulu. Pertama, pemain tabu berantem di lapangan karena itu (tindakan) pengecut. Kedua, pemain itu tabu memprotes dan melawan keputusan wasit dengan cara tidak wajar, seperti meludahi, menendang, memukul, mengeroyok. Itu juga tindakan pengecut. Soal protes itu ada aturannya. Ketiga, tabu melakukan suap. Siapa pun yang melakukan, pemain, manajer, wasit, harus dihukum berat. Kalau berhasil dijalankan, kompetisi bisa lebih berbobot dan hasilnya ebih bagus.
Tiga tabu itu berpengaruh terhadap suporter. Kalau pemain berantem atau melawan wasit, suporter akan terpancing. Fanatisme itu perlu, tapi ekspresikan dengan hal positif, memberi semangat, karena olahraga itu harus ada sportivitas.
Satu keberhasilan pembinaan (kompetisi) itu hasilnya prestasi. Namun juga harus dicari apa yang menghadang masalah pembinaan ini lalu diatasi. Jepang contohnya. Tiga puluh tahun lalu mereka selalu kalah oleh Indonesia. Tapi sekarang mereka bisa juara Asia dan terhitung di tingkat dunia. Kuncinya adalah kompetisi yang bagus. Pemain, klub, dan tim nasional akan menjadi besar karena kompetisi.